Senin, 16 November 2009

Hasil Luar Biasa Dari Hal-Hal Biasa



1.
Output berbanding lurus dengan input yang masuk: untuk mendapatkan hasil yang maksimal, maka upaya yang dikerahkan juga harus maksimal. Banyak orang dari segala lapisan dan struktur sosial yakin kepada hukum sebab akibat ini.
Lihat saja: pelajar, pada waktu ujian, belajar mati-matian, percaya dengan melakukan hal ini akan membantu mereka lulus. Petani pergi ke ladang, bekerja sebelum matahari terbit dan pulang setelah matahari terbenam, percaya dengan melakukan hal ini panenannya akan melimpah ruah. Perusahaan membelanjakan miliaran dollar untuk iklan, percaya bahwa pendapatan perusahaan akan naik seiring dengan meningkatnya anggaran iklan.

Gambar 1: Biaya iklan 25 Perusahaan di AS tahun 2006 (Sumber: www.wiep.net)
 Benar, kebanyakan orang yakin, untuk sukses mereka harus bekerja ekstra, super keras. Anda akan dicemooh jika mengharapkan hasil luar biasa, berlipat ganda, tanpa bersusah payah. Dari pengalaman, kebanyakan orang belajar bahkan ketika sudah bekerja keras pun hasilnya kadang-kadang kurang memuaskan.
Tapi tunggu sebentar. Apakah hasil memang selalu berbanding lurus dengan upaya yang kita kerahkan? Bahwa sukses selalu berbanding lurus dengan jumlah butiran keringat yang jatuh dari tubuh Anda? Tidak harus demikian. Banyak fakta di lapangan menunjukkan bahwa hal-hal kecil yang  dilakukan ternyata berdampak luar biasa.
Coba perhatikan beberapa kasus berikut:
  • 1) Tempatkan virus yang sangat menular, seperti flu spanyol, dan lihat jika tidak dalam waktu singkat 50 juta populasi manusia binasa.
  • 2) Nyalakan sebatang korek api di tumpukan jerami kering di tengah hutan pada puncak musim panas dan lihat jika tidak seluruh hutan dibakar habis dalam waktu singkat.
  • 3) Peribahasa yang acap kali kita sebut: “Karena nila setitik, rusak susu sebelanga” jelas menunjukkan dampak yang luar biasa dari satu sumber perusak terhadap jumlah yang dirusakkan.
Fakta-fakta ini sayangnya, hanya memperlihatkan akibat yang luar biasa merusak –negatif- dari hal-hal kecil.
Tetapi bayangkan bila yang terjadi adalah sebaliknya: hal-hal kecil berdampak sangat luas secara positif, seperti:
  • 1) Produk atau jasa laku dan menjadi terkenal bukan karena biaya iklan yang tinggi atau upaya yang besar, mati-matian dari si pemilik usaha, tapi berkat orang lain, yang bahkan tak dikenal atau dibayar, tapi dengan secara sukarela memulai proses dari mulut ke mulut tentang produk ini yang akhirnya kepopulerannya merebak bak virus flu spanyol, dalam waktu singkat mencapai 50 juta orang.
  • 2) Angka kejahatan tiba-tiba turun secara drastis padahal tidak ada upaya yang signifikan untuk memberantas kejahatan, malah sebaliknya program pemberantasan kejahatan yang mahal dan memakan waktu, dan juga korban, tidak sebanding dengan sumber daya yang telah dihabiskan.
  • 3) Produktifitas sebuah perusahaan meningkat dengan signifikan setelah karyawan diberikan jam kerja yang fleksibel bukan karena kenaikan gaji, atau insentif lainnya yang menggiurkan.
2.
Malcolm Gladwell, wartawan majalah The New Yorker, mengawali buku bestseller-nya The Tipping Point dengan sebuah kisah tentang Hush Puppies. Ini bukan cerita tentang anjing pet atau makanan khas ala Paman Sam, tapi tentang sepatu dengan merek yang sama.
Sebelumnya, setahun yang lalu, ketika mencari sepatu, hadiah buat teman saya, di Metro Department Store, Plaza Semanggi, saya memilih sepatu Hush Puppies; jadi kebetulan. Tapi bukan itu yang menarik, meski saya segera nyambung karena pernah membeli produk yang dimaksud.
Hush Puppies adalah sepatu kulit made in USA, dipasarkan sejak tahun 1958. Sekarang, sepatu Hush Puppies dapat dibeli di kurang lebih 120 negara. Perusahaan induk yang memasarkan atau menjual lisensi Hush Pupies adalah Wolverine Worldwide yang bermarkas di Rockford, Michigan.
Pada penghujung tahun 1994, tutur Gladwell, Hush Puppies telah menjadi merek sepatu yang hampir mati, kurang laku lagi di pasaran. Pada tahun ini, penjualan Hush Pupies hanya sekitar 30 ribu pasang. Meskipun Hush Puppies telah membuat Wolverine terkenal, perusahaan ini berencana untuk segera menghentikan produksi Hush Puppies.
Tiba-tiba sesuatu yang aneh terjadi. Pada tahun 1995, Hush Puppies justru terjual sebanyak 430 ribu pasang, meningkat jauh pesat dari tahun sebelumnya yang hanya 30 ribu pasang. Tidak sampai di situ, tahun berikutnya lagi, 1996, Hush Puppies terjual empat kali lipat dari penjualan tahun 1995, dan terus meningkat pada tahun-tahun selanjutnya, hingga Hush Puppies kembali populer sebagai sepatu kawula muda di AS. Pada tahun 1996 Hush Puppies menyabet penghargaan Council of Fashion Designers, yang sering disebut sebagai Piala Oscar-nya industri fashion, untuk kategori aksesoris terbaik.
Mengapa sepatu yang akan segera dihentikan produksinya tiba-tiba secara mendadak laku laris manis? Mengapa di saat Wolverine sudah menghentikan segala upaya promosi, penjualan sepatu ini justru meningkat gila-gilaan?
Menurut Gladwell, semuanya di mulai dari klub-klub dan bar-bar di pusat kota Manhattan, New York. Anak-anak muda yang bekerja di industri fashion, mulai dari designer sampai model, sering mengunjungi klub-klub dan bar-bar tersebut. Dan tebak sepatu apa yang mereka gunakan? Hush Puppies! Pertanyaannya, mengapa sepatu yang justru sudah tampak jadul, out of fashion, yang sudah tidak laku lagi di pasaran, justru dipakai oleh orang-orang fashion? Di sinilah sebenarnya letak rahasianya. Justru karena tidak banyak dipakai orang, maka anak-anak fashion memilih memakai sepatu ini karena ekslusif. Akhirnya Hush Puppies mulai dipertunjukkan di fashion-fashion show, dipakai oleh designer-designer ternama. Selebihnya adalah sejarah.
Para penggiat muda fashion ini memakai, dan dengan demikian mempopulerkan Hush Puppies karena ekspresi fashion mereka, bukan karena dibayar. Dan karena mereka adalah orang yang sangat tepat untuk membuat suatu produk fashion terkenal, produk yang mereka kenakan, atau rekomendasikan berdampak sangat besar pada produk itu. Semuanya berlangsung tanpa biaya satu sen pun keluar dari kantung Wolverine. Hush Puppies bangkit kembali bukan karena belanja promosi yang mahal tapi karena promosi gratis dari mulut ke mulut.
3.
Tak perlu jauh-jauh ke New York untuk melihat fenomena ini. Coba bandingkan fenomena Hush Puppies dengan apa yang terjadi di Medan, Sumatera Utara. Sekarang, bukan lagi sepatu yang membuat fenomena tapi kue bolu.
Setiap ke Medan, teman-teman saya yang bahkan belum tahu Medan itu seperti apa, sering minta kue bolu sebagai oleh-oleh. Tapi bukan bolu sembarangan: harus bolu gulung dengan merek khusus, yaitu Meranti. Ada apa dengan bolu Meranti? “Kenapa harus bolu Meranti, Bisakah diganti dengan bolu yang lain?” tanya saya penasaran. No way, bahkan saya diperingatkan agar jangan sampai salah beli Meranti-Merantian karena banyak yang palsu.
Waktu pertama kali mencari bolu Meranti, sekitar empat/lima tahun yang lalu, ketika bolu itu belum terkenal seperti sekarang, mobil yang saya tumpangi harus berputar beberapa kali sampai alamat yang dicari ditemukan. Jalan gang masuknya pun bolong-bolong. Tempat jualnya juga bukan di toko kue tapi hanya rumah pribadi; dan kalau saya tidak salah ingat, hanya semacam garasi.
Saya tidak lagi bepergian ke Medan, jadi tidak tahu lagi apakah bolu Meranti masih dijual di tempat yang sama atau sudah pindah ke tempat yang lebih representatif. Yang jelas kue ini sudah terkenal, bersaing kepopuleran dengan kue khas Medan, yaitu bika ambon. Bahkan sekarang ada yang mengklaim bahwa bolu Meranti lebih terkenal sebagai oleh-oleh khas Medan dibanding bika ambon. Ini menarik: bika ambon adalah kue multi merek yang diproduksi oleh berbagai rumah usaha, tapi hanya satu bolu yang disebut Meranti, yang diproduksi oleh hanya satu bisnis keluarga, tapi mampu bersaing.
Pertanyaannya, bagaimana kue bolu yang merangkak dari tempat sederhana, dari usaha kecil-kecilan, menjadi begitu terkenal sampai ke luar batas-batas kota Medan? Pasti karena bolu ini cocok dengan lidah kebanyakan orang, kelezatannya merebak dari mulut ke mulut, sehingga menjadi terkenal tanpa dibutuhkan biaya promosi yang mahal; bahwa terkenalnya bolu ini tidak sebanding dengan upaya promosi yang dilakukan oleh sang pemilik usaha. Fenomena informasi dari ke mulut, yang tentunya murah -kalau bukan gratis- membuat bolu Meranti lepas landas.
4.
Fakta-fakta ini mengkonfirmasi bahwa tidak harus dibutuhkan upaya dan sumber daya yang besar untuk mendapatkan hasil yang luar biasa. Meskipun dua contoh nyata sebelumnya hanya berkisar pada aspek penjualan, prinsip yang sama dapat diterapkan pada berbagai bidang lain seperti penurunan angka kejahatan atau peningkatan produktifitas dan efisiensi perusahaan.
Misalnya, menurunnya angka kejahatan di salah satu kota menengah di Indonesia ternyata dipicu oleh mudahnya mendapatkan kredit sepeda motor, bukan karena strategi dan kebijakan dari pihak kepolisian. Apa hubungan sepeda motor murah dengan menurunnya angka kejahatan di kota tersebut? Ternyata, kemudahan dalam pemilikan sepeda motor menciptakan lapangan pekerjaan baru, yang sebelumnya tidak ada, yaitu perojekan. Perempatan-perempatan jalan yang kini menjadi pangkalan ojek, sebelumnya ditongkrongi para pengangguran (baca: preman), yang kerap menjadi tempat mabuk-mabukan, pemalakan, dan bahkan penikaman. Para preman, dan calon preman, kini beralih profesi. Dan karena pekerjaan ini sangat bergantung pada kualitas pelayanan pelanggan, mereka harus membuat wilayah mereka seaman mungkin, sehingga semakin banyak orang yang akan berkunjung ke sana. Akhirnya, justru para mantan preman ini menjadi partner polisi dalam upaya pencegahan dan pemberantasan terorisme.
Dan perihal maju atau mundurnya suatu korporasi, fakta-fakta menunjukkan, juga bergantung kepada kebijakan internal, bahkan visi, misi dan budaya perusahaan tersebut: sesuatu yang masih dianggap sepele karena tidak menuntut anggaran besar. Keluar, ketika berhadapan dengan pelanggan, hal-hal “sederhana” seperti kualitas pelayanan kini tak dapat disangkal lagi menjadi faktor penentu dalam memenangkan persaingan bisnis.
5.
Mendapatkan hasil yang maksimal dengan pengorbanan yang minimal merupakan prinsip ekonomi dasar yang menjadi tujuan mulia dari setiap korporasi yang berorientasi laba.
Fenomena Hush Puppies menegaskan agar suatu produk laris manis dibutuhkan para agen yang berpengaruh kuat terhadap opini calon pelanggan. Fenomena bolu Meranti menunjukkan pengaruh yang luar biasa akan promosi gratis dari mulut ke mulut, yang berpotensi menyebar bagaikan virus (viral marketing). Kita sudah melihat hal ini terjadi pada kasus Prita dan Bibit-Chandra melalui Facebook.
Lantas bagaimana sebuah perusahaan bisa meningkatkan efisiensi dan efektifitas, dan sekaligus mengangkat moral karyawan? Meskipun insentif materi banyak membantu, financial reward bisa menjebak perusahaan itu sendiri, karena bagi karyawan insentif semacam itu bersifat candu. Menyediakan insentif lain berupa sarapan dan makan siang di kantor layak dipujikan; tapi semua insentif ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit, dan bisa jadi mubazir, khususnya yang terakhir: karena tidak semua karyawan bisa datang tepat waktu untuk sarapan dan tidak semua cocok dengan menu yang disediakan. Sebaliknya daripada menyediakan insentif yang cukup mahal ini, Bagaimana jika perusahaan yang bersangkutan, sedikit merubah kebijakannya, seperti menawarkan opsi jam masuk kerja yang fleksibel (tetapi tetap mempertahankan total jumlah jam kerja per hari)?
Hal-hal sederhana yang membawa pengaruh luar biasa bagi SDM perusahaan dapat diperluas lagi dengan pencarian kebijakan-kebijakan proaktif yang bisa secara inheren mencegah terjadinya kejahatan kerah putih internal, tanpa harus mengimplementasi sistem kontrol dan audit yang mahal.
Bagaimana hal-hal kecil bisa berdampak luar biasa, dan, yang terutama, bagaimana kita bisa mewujudkannya, Malcolm Gladwell dengan elegan dan informatif membahas hal ini dalam The Tipping Point yang disebutkan sebelumnya. Yang berminat silahkan mendapatkan informasi lanjutan di buku tersebut.
Jika Anda melakukannya dan kemudian merekomendasikannya ke rekan-rekan Anda, dan rekan-rekan Anda ke rekan-rekan mereka lagi, yakinlah kita sedang mereplika fenomena Hush Puppies dan bolu gulung Meranti.